‘Hukum Dalam Masyarakat’ yang di dalam kepustakaan
berbahasa Inggris diistilahi ‘Law in Society’, dan yang di dalam
kurikulum berbagai program studi hukum di Indonesia sejak tahun 1980an
secara salah kaprah diistilahi Sosiologi Hukum, adalah salah satu
cabang kajian tentang hukum sebagaimana adanya di dalam masyarakat.
Sebagian khlayak akademisi menggolongkan kajaian ini sebagai kajian
hukum yang diperluas ufuknya, sebagian lagi hendak membilangkan cabang
kajian ini ke dalam keluarga ilmu pengetahuan sosial (IPS). Apapun
juga nomenklaturnya, kajian ini adalah suatu cabang kajian, yang seperti
cabang kajian tentang kehidupan bermasyarakat manusia pada umumnya,
berperhatian kepada upaya-upaya manusia menegakkan dan mensejahterakan
diri lewat kehidupan yang tertib dan terkontrol.
Mempunyai perhatian yang lebih khusus, yang
sedikit-banyak membedakan diri dari kajian ilmu hukum yang klasik,
tetapi juga membedakan diri dari cabang kajian ilmu-ilmu sosial yang
lain, kajian ‘hukum dalam masyarakat’ ini hendak berfokus pada masalah
otoritas dan kontrol yang memungkinkan kehidupan kolektif manusia itu
selalu berada dalam keadaan yang relatif tertib dan berketeraturan.
Kekuatan kontrol dan otoritas pemerintah sebagai pengemban kekuasaan
negara yang mendasari kontrol itulah yang disebut ‘hukum’ atau tepatnya
diseyogyakan untuk disebut agak lengkap dengan istilah ‘hukum
undang-undang nasional’.. Maka, dalam hubungan ini tidaklah keliru
kalau Black mendefinisikan hukum sebagai government’s social control.
Dalam kehidupan masyarakat pra-modern, tatkala
kehidupan itu masih berada pada skalanya dan formatnya yang lokal,
homogen dan eksklusif – yang oleh sebab itu lebih cocok untuk
diistilahi ‘komunitas’ (community) daripada ‘masyarakat’ (society) atau ‘masyarakat negara’ (political state)
— apa yang disebut ‘hukum’ ini umumnya tidak tertulis dan eksis sebagai
asas-asas umum di dalam ingatan warga komunitas, dirawat secara turun
temurun sebagai tradisi yang dipercaya berasal dari nenek-moyang.
Inilah yang disebut tradisi atau moral kehidupan suatu komunitas, yang
di dalam kajian sosiologi hukum sering juga disebut juga ‘hukum rakyat’,
dan yang didalam ilmu hukum disebut ‘hukum kebiasaan’ atau ‘hukum
adat’.
Dalam perkembangan kehidupan yang lebih
mutakhir, tatkala kehidupan bernegara bangsa menggantikan
kehidupan-kehidupan lokal yang berskala kecil dan eksklusif, apa yang
disebut hukum itu mulai menampakkan wujudnya yang tertulis. Inilah yang
disebut hukum undang-undang, yang ditulis dalam rumusan-rumusan yang
lebih eksak, dibentuk atau dibuat melalui prosedur tertentu, dan
terstruktur atau terlembagakan sebagai sarana kontrol yang nyata-nyata
formal sifatnya, yang oleh sebab itu akan ditunjang oleh otoritas
kekuasaan negara yang berkewenangan untuk mendayagunakan sanksi.
Dalam sejarah Eropa Barat,bersamaan dengan
kebijakan pembentukan undang-undang nasional dalam fungsinya sebagai
stándar perilaku warga bangsa. Ketentuan-ketentuan undang-undang yang
berjumlah banyak itu acapkali tidak dibiarkan terberai-berai melainkan
dibukukan dan dinyatakan berlaku sebagai stándar perilaku seluruh warga
negara bangsa, dan kemjudian daripada itu lalu difungsikan seefektif
mungkin sebagai kontrol sentral. Inilah pengkitaban hukum inilah yang
di dalam kajian-kajian hukum disebut kodifikasi dan unifikasi. Dengan
pengkitaban seperti itu, para penganut paham ‘bahwa setiap ketentuan
hukum harus diwujudkan dalam bentuk undang-undang” berkeyakinan bahwa
aturan-aturan berperilaku dalam masyarakat akan dapat diniscayakan,
demikian rupa sehingga apa yang disebut kepastian hukum akan terjamin.
Tentang Pengertian Hukum
Apakah gerangan yang
diartikan dan didefiniskan dalam kajaian-kajian tentang hukum? Dalam
kehidupan bernegara modern yang disebut kehidupan negara bangsa,
sebagaimana yang telah dibentangkan di muka, hukum itu selalu atau
hampir selalu diartikan sebagai seluruh norma sosial yang telah
diformalkan oleh institusi-institusi kekuasaan negara. Menilik
keterangan di muka, tak salah kiranya apabila dikatakan bahwa hukum
dalam modelnya sebagai undang-undang adalah invensi negara bangsa yang
terjadi di kawasan negeri-negeri Eropa Barat dalam kurun sejarah yang
mengabarkan pula bangkitnya kesadaran berbangsa penduduk negeri di
wilayah itu, yang kemudian daripada itu mengakhiri sejarah Eropa sebagai
sejarah raja-raja. Itulah kurun waktu yuang mengatakan betapa “the making of Europe is the making of Kings and Queens no more, but the making of nations”.
Tumbuhkembangnya negara-negara bangsa —
yang secara cepat atau lambat mengakhiri era negara-negara kerajaan —
telah berkonsekuensi pada kebutuhan akan suatu perangkat hukum baru,
ialah hukum nasional. Apabila hukum raja-raja dipandang sebagai hukum
kaum elit-otokrat yang berbasis pada titah-titah sepihak para penguasa,
hukum nasional dibenarkan sebagai hukum yang lahir dari paradigma baru,
bahwa ‘suara rakyat (yang yang disatukan secara rasional lewat
kesepakatan) adalah suara Tuhan’. Vox Populi Vox Dei. Hasil
kesepakatan rakyat inilah – secara langsung atau melalui wakil-wakilnya,
yang kelak diinstitusionalkan lewat lembaga legislatif atau referéndum –
akan dipositifkan sebagai hukum yang akan menjamin kepastian secara
adil dan benar.
Sebagai hukum nasional, hukum invensi Eropa –
yang di kelak kemudian hari menyebar ke seluruh penjuru bumi – ini
tertengarai (menurut doktrinnya!) bercirikan sejumlah ciri
karakteristik, antara lain yang tersebut berikut ini.
Pertama-tama, hukum itu agar terakui sebagai hukum formal — yang
penegakannya dapat dilakukan oleh aparat-aparat nasional – haruslah
ditegaskan dalam rumusan-rumusan yang tertulis, yang oleh sebab itu lalu
memiliki wujudnya yang positif sebagai hukum undang-undang. Ciri yang
kedua, hukum undang-undang ini (menurut doktrinnya yang disebut
‘doktrin supremasi hukum’) haruslah diterima sebagai pengganti mutlak
berlakunya semua norma sosial macam apapun yang lain, yang ada di dalam
masyarakat. Dalam statausnya seperti itu, hukum undang-undang akan
berlaku sebagai hukum tertinggi, mengatasi norma sosial macam apapun,
juga yang dipercaya sebagai hukum “yang diwahyukan dari langit
sebagaimana diajarkan oleh para Rasul dan Nabi”.
Tercatat sebagai ciri karakteristik yang
ketiga adalah kenyataan bahwa hukum nasional ini adalah hukum hasil
kinerja manusia, yang oleh sebab itu memiliki ciri karakteristik khusus
yang disebut ‘historisitas’. Hukum nasional adalah hukum produk
kesejarahan manusia, yang oleh sebab itu – walau dididoktrinkan dan
diindoktrinasikan sebagai hukum yang konon akan dapat menjamin kepastian
– akan selalu saja disifati oleh ciri relativitas, yang oleh sebab itu
pula akan mengalami perubahan dari masa ke masa, dan akan berbeda-beda
pula dari tempat ke tempat yang bersebab dari progresi sejarah yang
beragam.
Ciri berikutnya, yang keempat, ialah bahwa
hukum yang telah diformalkan sebagai hukum positif yang juga hukum
undang-undang nasional ini pun harus dikelola secara eksklusif oleh para
ahlinya. Para ahli hukum ini, di jabatan yuridis manapun mereka itu
duduk, haruslah sanggup bekerja secara kolektif di bawah kontrol suatu
kode etik. Keahlian tinggi yang terkontrol oleh seperangkat norma etik
yang telah dikitabkan ini akan serta merta menjadikan mereka yang
berkeahlian hukum ini terbilang ke dalam golongan profesional. Keahlian
dan etika inilah yang akan menjadikan para ahli hukum itu terpercaya
untuk merawat dan menjaga kewibawaan hukum yang berkedudukan supremasi
itu dalam menegakkan ketertiban dalam kehidupan.
Konsekuen dengan soal profesionalisme tersebut
di muka, sebagai ciri yang kelima, hukum dalam eksistensinya sebagai
suatu institusi kehidupan bernegara nasional yang modern itu tak pelak
lagi akan memerlukan bantuan logistik dari dunia pendidikan
universiter. Tak ada hukum nasional modern, yang harus berfungsi
melayani kehidupan bernegara dan berbangsa, yang tidak dirawat dan
dikelola serta dikontrol perkembangannya oleh para professional yang
memperoleh keahliannya dari lembaga-lembaga pendidilkan akademik.
Profesionalisme hukum dan pendidikan hukum adalah dua entitas yang
saling melengkapi, dan dengan demikian memberikan karakteristik
tersendiri kepada hukum nasional modern sebagaimana yang semula
berkembang di negeri-negeri Eropa Barat.
Law is Society Ataukah Law Is Not (Always) Society?
Di negeri-negeri yang
dibangun di atas fondasi suatu bangsa yang berbudaya homogen –
sepertiyang terjadi pada awal mulanya di Eropa kawasan Katolik Barat
sebagaimana di bentangkan di muka — upaya untuk membuat stándar perilaku
yang tunggal lewat kerja pengkodifikasian hukum itu tidaklah terlalu
sulit. Indoktrinasinya pun tak dapat dibilang sulit. Kodifikasi
dikerjakan dengan cara mempositifkan norma-norma yang telah berlaku
sebagai moral dan tradisi masyarakat ke dalam bentuknya yang formal dan
baru sebagai teks-teks undang-undang untuk kemudian dikitabkan. Dari
proses kerja seperti inilah datangnya istilah ‘hukum yang telah
dipositifkan’ atau ‘hukum positif, atau pula istilah ‘ius constitutum’
yang berarti ‘norma hukum yang telah dibentuk’. Maka, dengan demikian,
tidaklah keliru dan salah apabila orang berkeyakinan bahwa materi hukum
yang telah berlaku selama ini di dalam masyarakat pada hakikatnya sama
saja dengan norma substantif yang termuat dalam setiap undang-undang.
Karena pada awalnya undang-undang negara
bangsa itu “hanya” merupakan formalisasi saja dari apa yang telah
berlaku secara nyata dalam masyarakat, maka lahirlah doktrin dalam ilmu
hukum bahwa kodifikasi itu pada hakikatnya adalah sebuah gambaran
normatif suatu masyarakat yang benar-benar “bulat, lengkap dan tuntas”.
Dari keyakinan doktrinal seperti ini pulalah lahirnya doktrin
berikutnya yang dikenal dengan adagium berbahasa Latin ‘ignoratio iuris’;
ialah, bahwa tak seorangpun dalam sidang pengadilan boleh menolak
diberlakukannya undang-undang terhadap dirinya dengan dalih bahwa dia
tidak pernah membaca dan mengetahui adanya undang-undang itu. Kalaupun
orang tak pernah membaca dan mengetahui adanya undang-undang yang
mengatur perbuatannya yang terlarang, sebagai anggota masyarakat
bukankah dia telah sejak awal mengetahui moral atau tradisi sosial yang
melarangnya?
Dalam kajian-kajian sosiologik, keyakinan
seperti itu disebut keyakinan yang menyamakan hukum dengan
masyarakatnya. Inilah keyakinan fiktif bahwa apa yang telah dihukumkan
dalam undang-undang (the law) tidaklah berbeda dengan apa yang berlaku dalam masyarakatnya (the society). Inilah yang dari sudut pandang sosiologik atau antropologik merupakan suatu fiksi bahwa law is society. Dikatakan suatu fiksi karena dari kajian ilmu-ilmu sosial – yang ekonomik, politik, sosial maupun budaya – law is not always society, atau bahkan law is not society. Hukum undang-undang sebagai teks tidaklah selamanya sama dan sebangun dengan realitasnya dalam konteks sosial-kultural.
Adalah kenyataan bahwa kehidupan bermasyarakat
di dunia yang fana ini cenderung berubah, dan dalam abad-abad terakhir
ini kian berubah cepat. Komuniats-komunitas lokal dengan cepat lebur
dan terintegrasi ke dalam kehidupan urban-industrial yang berskala dan
berformat nasional. Inilah perkembangan yang – disebut perkembangan from old societies to a new state — terjadi
sepanjang abad 18-19 di Eropa Barat dan seterusnya sepanjang abad 20 di
Asia dan Afrika, dengan segala permasalahan yang berkaitan dengan
persoalan tertib kehidupan bermasyarakat negara, serta ihwal sarana
kontrol berikut segala aspek hukumnya.
Demikianlah, manakala ‘Ilmu Hukum’ sebagai kajian law in books berkonsentrasi
pada ihwal hukum undang-undang yang tengah berlaku, yang demi kepastian
akan dijadikan dasar hukum untuk mengadili perkara-perkara, ‘Hukum
Dalam Masyarakat’ adalah kajian tentang ihwal kebermaknaan sosial hukum
undang-undang itu. Adapun yang dimaksudkan dengan ‘the social significance of law’
ini tak lain ialah fakta actual yang hendak mengabarkan sejauh mana
hukum undang-undang yang berstatus formal itu ditaati dan terealisasi
menjadi perilaku warga masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Dengan demikian, hukum undang-undang tak hanya tersimak sebagai bacaan
tentang perintah-perintah yang harus ditaati akan tetapi juga tersimak
secara indrawi sebagai pola perilaku yang faktual. Semakin sering hukum
undang-undang itu tampak dipatuhi dan terwujud secara nyata dalam
perilaku para waraga dalam kehidupan sehari-hari akan boleh dikatakan
bahwa hukum undang-undang itu semakin bermakna secara sosial dan
kultural.
Kajian ‘Hukum Dalam Masyarakat’.
Mengakui adanya ciri
historisitas yang melekat pada eksistensi hukum undang-undang, orang
sebenarnya akan bisa segera tersadar bahwa hukum nasional itu tak akan
berkepastian tinggi sebagaimana yang diperlihatkan hukum-hukum empirik
di wilayah kajian sains fisika. Adagium kepastian hukum yang menurut
doktrinnya dilekatkan pada eksistensi hukum undang-undang yang positif
itu sebenarnya hanyalah suatu pernyataan yang hanya akan bisa diterima
dalam makananya yang relatif. Sepanjang sejarah, hukum akan berubah
sejalan dengan perubahan jaman. Dari kajian hukum positif ini pulalah
lahirnya kajian ‘hukum dalam masyarakat’ yang berfokus pada kajian text in context.
Kajian-kajian tekstual terhadap hukum berkembang dengan sebutan jurisprudentia
sepanjang abad 18-19 di negeri-negeri kelahirannya. Kajian ini banyak
berseluk beluk dengan upaya mensistematisasi berbagai produk
perundang-undangan berikut prosedur-prosedur pendayagunaananya serta
ajaran-ajaran yang menjadikan preskripsi-preskripsi undang-undang yang
bertebaran itu terorganaisasi ke dalam suatu sistem yang logis dengan
koherensinya pada tarafnya yang tinggi. Tetapi, sudah pada belahan
kedua abad 19 yang bersiterus ke abad 20, tatkala industrialisasi dan
urbanisasi telah serta merta menyebabkan terjadinya perubahan masyarakat
yang sungguh eksponensial, dorongan untuk juga mempelajari teks-teks
itu — ialah sehubungan dengan perubahan konteks-konteksnya – dengan
segera saja menguat.
Meningkatnya migrasi dan urbanisasi
yang kian membikin komplek secara drastik heterogenitas dan pluralitas
kehidupan, atau pula maraknya kekumuhan dan kemiskinan yang berseiring
dengan terjadinya massa pekerja pabrik dan kejahatan yang merebak di
kota-kota, adalah dua-tiga contoh saja dari sekian banyak perkembangan
sosial-ekonomi yang menuntut terwujudnya sistem normatif baru guna
menjamin terwujudnya tertib kehidupan yang baru pula. Sebelum datangnya
masa krisis dengan segenap kerisauannya itu, para pemikir besar di
bidang filsafat sosial amatlah berkeyakinan akan kebenaran paham
progresisme. Ialah paham yang bertolak dari suatu paradigma saintisme yang empirik
dan positif, bahwa perubahan macam apapun yang terjadi dalam sejarah
kehidupan manusia, jejak langkahnya sudahlah pasti akan selalu berarah
ke bentuk dan substansi yang secara kodrati akan lebih baik daripada
yang sudah-sudah.
Adalah kenyataan bahwa transisi-transisi
transformatif yang pesat dan tertampak sebagai kenyataan sosiologis itu
tak bisa secara cepat diimbangi oleh pembaharuan dalam seluruh tatanan
perundang-undangan yang ada itu. Syahdan, ketertiban lama yang
mendasarkan diri pada ketentuan-ketentuan preskripsi yang lama nyata
kalau sudah tidak lagi dapat memberikan jawaban kepada
berbagai permasalahan baru yang bermunculan. sedangkan norma-norma baru
belum juga kunjung juga dapat menjawabnya. Merespons kenyataan seperti
ini, sosiologi – dan demikian pula cabang-cabang spesialisasinya yang
segera berkembang kemudian, antara lain sosiologi hukum – segera saja
marak sebagai hasil pemikiran mereka ÿang risau dengan permasalahan
yang tak segera terjawab oleh hukum dan ilmu hukum.
Pendayagunaan kajian sosilogik inilah yang
kemudian memperkuat daya kerja ilmu hukum, dari kajian-kajiannya yang
terlalu murni — yang mengkaji hukum dengan keyakinannya yang doktrinal
namun sempit akan eksistensi ilmu hukum sebagai ilmu yang tersendiri, sui generis
– menjadi suatu studi yang lebih berufuk luas. Membuka diri untuk
memanfaatkan hasil kajian-kajian ilmu sosial yang marak sejak belahan
akhir abad 19, sudah pada pertengahan abad 20 ilmu hukum telah memiliki
karakternya yang baru sebagai apa yang disebut ‘in-between
jurisprudence’.
Istilah ‘in-between
jurisprudence’ ini memang sering mengundang kontroversi, apakah kajian
‘hukum dalam masyarakat’ itu sesungguhnya terbilang ilmu hukum (jurisprudence)
ataukah sudah bergeser menjadi kajian yang sudah lebih masuk ke ranah
ilmu-ilmu sosial yang lebih empirik (dengan fokus kajiannya yang berarah
ke persoalan ‘apa yang terjadi’ dan ‘mengapa sampai terjadi’) daripada
yang normatif dan/atau preskriptif (dengan fokus kajiannya yang berarah
ke persoalan ‘bagaimana seharusnya bertindak’). Pendapat yang menolak
kajian ‘in-between jurisprudence’ sebagai kajian hukum menyebut
kajian yang berada di wilayah abu-abu ini sebagai kajian sosiologi
hukum yang tak ada gunanya bagi praktik hukum kaum profesional.
Sementara itu, mereka yang mau menerima kajian yang satu ini sebagai
kajian ilmu tentang hukum menyebutnya dengan istilah ‘hukum dalam
masyarakat’.
Sumber : http://artikel-ekonomi.blogspot.com/