Korupsi tidak membuat masyarakat sejahtera. Hal ini
dikarenakan tindakan korupsi merampas hak ekonomi masyarakat untuk hidup
lebih baik. Birokrat sebagai abdi masyarakat seharusnya melayani rakyat, bukan
sebaliknya mendapatkan atau mengharapkan “kelebihan” dari
mayarakat. Demikian setidaknya yang dapat kita pantau dalam perbincangan publik
sehari-hari.
Dalam dekade pasca reformasi atau sepuluh tahun berjalan
upaya-upaya untuk mengurangi perilaku koruptif ini telah dilakukan. Hasilnya
dapat kita lihat dalam pemberitaan korupsi yang marak di berbagai media, baik
media cetak, online maupun media elektronik. Dalam pemberitaan ini tampak
adanya aspek penegakan hukum terhadap perilaku korupsi. Kasus-kasus korupsi
yang menimpa pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif
diberitakan telah disidangkan, atau pelakunya dihukum dan dipenjarakan.
Sayangnya dalam pemberitaan tersebut persepsi yang seringkali muncul adalah
maraknya (kuantitas) tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat ini.
Bukan aspek positifnya yaitu proses penegakan hukum terhadap tindak kejahatan
korupsi ini.
Persepsi ini berpotensi menyumbang munculnya sikap
pesimismtis terhadap langkah-langkah pemberantasan korupsi. Juga mengakibatkan
rasa putus asa di kalangan warga yang dikhawatirkan memunculkan persepsi kedua,
yaitu tentang kegagalan dalam upaya membangun negara ini. Ada baiknya kiranya
cara pandang terhadap hingar bingar pemberitaan tentang korupsi ini di balik
dengan menggunakan kaca mata optimistis atau positif. Pandangan
optimistis ini secara psikologis menciptakan persepsi positif bahwa korupsi
sebagai suatu tindakan yang berkategori anemy atau “dosa” di dalam NKRI, dan
bukan sebaliknya sebagai budaya yang biasa dan boleh dilakukan. Sikap positif
ini secara psikologis membantu langkah pemberantasan korupsi menjadi lebih
efektif. Cara pandang pesimistis ini secara psikologis menjadi penghambat untuk
melangkah pemberantasan korupsi lebih lanjut. Di samping menutupi
capaian-capaian gerakan anti korupsi selama ini dilakukan.
Orang menyatakan korupsi makin banyak, karena banyaknya
pemberitaan yang dilansir media massa. Pendapat ini tidak salah, karena memang
telah terjadi proses pemberantasan kosupsi, makanya muncul banyak berita
tentang korupsi di sana-sini. Dilihat dari kacamata pesimistis dinyatakan bahwa
semakin marak tindak kejahatan korupsi di tanah air. Namun, pemberitaan ini
juga dapat dilihat dari sisi optimistis, yaitu telah terjadi langkah-langkah
penegakan hukum terhadap tindakan korupsi yang semakin efektif. Maraknya berita
tentang kasus korupsi juga didukung oleh tidak adanya sensor di media massa
seperti era sebelumnya. Bahwa pemberitaan korupsi mulai menyentuh pada
wilayah-wilayah yang dahulu tidak dapat disentuh. Pers semakin bebas
memberitakan kejadian-kejadian atau kasus-kasus korupsi, sehingga semakin
dapat diungkap. Cara pandang seperti ini penting untuk dilakukan ditengah
hiruk pikuknya pemberitaan korupsi yang menyumbang nada pesismis, yang
dikhawatirkan memunculkan – menurut istilah Anis Baswedan -- tsunami pesimisme.
Capaian dibidang pemberantasan korupsi di Indonesia
sangatlah bagus. Menurut Prof. Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia, setidaknya terdapat lima indikator terkait fakta-fakta kemajuan
di Indonesia terutama di kaitkan dengan penegakan hukum terhadap kejahatan
korupsi. Kelima faktor ini merupakan pondasi bagi pemberantas korupsi, yaitu:
pertama, Indonesia menjadi lebih demokratis; kedua, regulasi anti korupsi lebih
baik; ketiga Institusi korupsi lebih baik; keempat, pers lebih baik; kelima,
partisipasi publik lebih baik.
Pertama, Indonesia menjadi lebih demokrastis. Fakta yang ada
Indonesia menuju ke arah negara yang demokratis sesungguhnya, yaitu
negara yang dimiliki rakyatnya, untuk rakyatnya dan dikelola oleh rakyat.
Mayoritas pendapat di Indonesia dan dunia menyatakan bahwa terjadi proses
demokratisasi. Indonesia menjadi negara yang demokratis di bandingkan dengan
era sebelumnya. Indonesia menjadi negara muslim terbesar yang demokratis.
Kebebasan berekspresi dan berpendapat dijamin di negeri ini, pers semakin
bebas, tanpa adanya UU Subversif, tidak ada lagi dwi fungsi ABRI.
Antara demokrasi dan anti korupsi terdapat hubungan lurus.
Semakin demokratis sebuah negara semakin anti korupsi. Hal ini dikarenakan
terjadinya korupsi disebabkan oleh adanya sistem yang tertutup dan tidak
terkontrol. Sistem tidak terkontrol ini biasanya terdapat pada kekuasaan yang
mutlak. Demokrasi menjadi penting sebagai sistem politik yang anti kewenangan
absolut yang biasanya berada di tangan satu orang (authoritarian). Terdapat
pameo yang mengatakan “kekuasaan cenderung korup”, barangkali kekuasaan yang
absulut lebih menyembunyikan perilaku korup tersebut. Indonesia yang lebih
demokratis diperlukan dalam upaya pemberantasan korupsi itu. Makin tranparan
atau terbuka sistem politik maka negara semakin sehat dan semakin
anti korupsi.
Indeks Demokrasi Indonesia versi IEU menempatkan pada
rangking ke 60 pada tahun 2010. Peringkat 60 ini kalau dilihat dari jumlah
deretan angkanya merupakan hal yang besar. Namun apabila diihat dari sisi
progresnya, maka merupakan kemajuan yang sangat berarti. Dibandingkan tahun
sebelumnya tahun 2008 Indonesia berada di peringkat 69. Juga lebih baik di
bandingkan dengan negara tetangga, posisi Malaysia (peringkat 71), Singapore
peringkat 82 di tahun 2010.
Kedua, regulasi anti korupsi lebih baik. Sejak awal
reformasi telah terbentuk berbagai undang-undang yang berhubungan dengan
gerakan anti korupsi. Undang-undang tersebut seperti UU Mahkamah Konstitusi,
UU Tipikor, UU KPK, UU Ratifikasi UNCAC, UU Keterbukaan Informasi Publik,
UU Pengadilan Tipikor, UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU TTPU, UU
Komisi Yudisial, UU MLA, Peraturan Presiden Nomor 49 tahun 2009 tentang
Pengambilalihan Aktivitas Bisnis TNI, Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012
tentang Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi. Perundang-undangan tersebut
mendukung gerakan anti korupsi di Indonesia.
Ketiga, Institusi korupsi lebih baik. Kelembagaan yang
diperlukan untuk pemberantasan korupsi telah terbentuk. Pada saat ini telah
terbentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Pengadilan Tipikor,
Mahkamah Konstitusi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lembaga-lembaga ini sangat
mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Keempat, Pers lebih baik. Pers memiliki kebebasan
sepenuhnya. Berbagai berita dapat diberitakan tanpa ada kekhawatiran
dicabut ijinnya atau dibredel seperti terjadi di era sebelumnya. Memang
terdapat kasus-kasus kekerasan terhadap insan pres di beberapa daerah, namun
kejadian ini lebih bersifat kasuistik yang juga terjadi di belahan negara
manapun. Kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan seperti ini tidak merupakan
gejala umum di Indonesia. Rangking terkait kebebasan pers di Indonesia
semakin bagus dari tahun ke tahun. Kebebasan Pers Indonesia menurut Freedom
House, pada tahun 2004 berada di rangking 119, sedangkan tahun 2012 berada di
rangking 97. Urutan rangking menunjukkan semakin rendah rangkinya semakin baik.
Kelima, partisipasi publik lebih baik. Ditandai dengan
keikutsertakan lembaga-lembaga non pemerintah atau NGO seperti Indonesia
Corruption Watch (ICW), International Transparancy Indonesia (TII), Pukat UGM,
Community Tranparancy Indonesia (MTI). Transparansi Internasional menyatakan
bahwa persepsi publik yang diukur dalam Coruption Perception Indeks (IPK)
Indonesia di kalangan negara Asean naik 1,0%, dari +2,0% di tahun 2004 menjadi +3,0
di tahun 2011. Walaupun kenaikan ini 1%, kondisi lebih bagus dibandingkan
negara negara Asean lainnya, seperti Kamboja (+0,4%), Filipina (0%),
Singapura (-0,1%), bahkan Malaysia sebesar (-0,7%).