Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia
yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan
strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan
perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental
dan sosial.
Anak yang dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana adalah anak yang sedang
berhadapan dengan kasus hukum tertentu. Meskipun masih tergolong dalam kategori
anak, hukum tetap wajib menjamin perlindungan terhadap anak yang sedang dalam
proses hukum. Hal ini merupakan konsekwensi dari ketentuan Pasal 28B
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menjelaskan bahwa ”Setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 64, bentuk perlindungan terhadap
anak yang berkonflik dengan kasus hukum dan anak korban tindak pidana antara lain:
1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai martabat dan hak-hak anak;
2. Penyediaan petugas pendamping khusus bagi anak sejak dini;
3. Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak;
5. Pemantauan dan pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan anak yang
berhadapan dengan hukum;
6. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua dan
keluarga;
7. Perlindungan melalui pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari
labelisasi.
Substansi yang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain mengenai penempatan
Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA), dan yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah
pengaturan secara tegas mengenai Restoratif Justice dan Diversi, yaitu
dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan
hukum dan diharapkan Anak dapat kembali kedalam lingkungan sosial secara wajar.
Oleh karena itu sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka
mewujudkan hal tersebut. Pada akhirnya proses ini harus bertujuan pada
terciptanya keadilan restoratif baik bagi Anak maupun bagi Anak sebagai Korban.
Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi dimana semua pihak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah,
menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik
dengan melibatkan Anak Korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk
memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan
pembalasan. Namun pada dasarnya, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak ini mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang
berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.
Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3668) dilakukan dengan tujuan agar dapat
terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik
Anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa.
Anak yang melakukan tindak pidana atau dalam praktek sehari-hari di pengadilan
disebut sebagai anak yang sedang berhadapan dengan hukum, harus diperlakukan
secara manusiawi, didampingi, disediakan sarana dan prasarana khusus, sanksi
yang diberikan kepada anak sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik anak,
hubungan keluarga tetap dipertahankan artinya anak yang berhadapan dengan hukum
kalau bisa tidak ditahan/dipenjarakan kalaupun dipenjarakan/ditahan, ia
dimasukkan dalam ruang tahanan khusus anak dan tidak bersama orang dewasa.
Anak yang melakukan tindak pidana menurut defenisi hukum Nasional adalah ”
orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Sedangkan definisi dari ”Anak Nakal” adalah anak yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan
maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat
yang bersangkutan.
Anak yang melakukan tindak pidana atau dalam praktek sehari-hari di pengadilan
disebut sebagai anak yang sedang berhadapan dengan hukum, harus diperlakukan
secara manusiawi, didampingi, disediakan sarana dan prasarana khusus, sanksi
yang diberikan kepada anak sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik anak,
hubungan keluarga tetap dipertahankan artinya anak yang berhadapan dengan hukum
kalau bisa tidak ditahan/dipenjarakan kalaupun dipenjarakan/ditahan, ia
dimasukkan dalam ruang tahanan khusus anak dan tidak bersama orang dewasa.
Selain itu, diberikan pula jaminan perlindungan terhadap anak-anak yang
berhadapan dengan hukum ditetapkan sebagai kelompok anak yang membutuhkan
”Perlindungan Khusus”.
Mendidik anak merupakan hal yang penting untuk mempersiapkan generasi muda
Indonesia yang akan datang. Mengenalkan hukum dan mengajarkan anak untuk taat
hukum sejak dini juga perlu dilakukan oleh orang tua dan pendidik di sekolah.
Hukum juga harus memberikan ruang bagi anak untuk terus berkembang dan
terlindungi sesuai kapasitas pertumbuhannya. Untuk itu diharapkan generasi muda
di masa datang lebih bisa mentaati hukum yang berlaku.
Sumber : http://alsaindonesia.org